Biennale Jogja 18 Resmi Dimulai, Angkat Tema “KAWRUH: Tanah Lelaku”

Biennale Jogja kembali hadir pada tahun 2025 dengan edisi ke-18 bertajuk “KAWRUH: Tanah Lelaku”.

0
10
Foto oleh : Biennale Jogja

Asana Bina Seni 2025: Prāṇaning Boro

Biennale Jogja kembali hadir pada tahun 2025 dengan edisi ke-18 bertajuk “KAWRUH: Tanah Lelaku”. Gelaran ini menjadi lanjutan dari Biennale Jogja XVII (2023) dan masih berada dalam lintasan tema besar Translokalitas dan Transhistorisitas sebagai bagian dari Seri Khatulistiwa Putaran Kedua.

Tim kuratorial yang terdiri dari Bob Edrian (Jakarta), Eva Lin (Taiwan), dan ketjilbergerak (Yogyakarta) memilih kata “KAWRUH” sebagai bingkai kuratorial. Dalam bahasa Jawa, kawruh berarti pengetahuan yang lahir dari pengalaman, diolah secara kritis oleh akal budi, dan diwariskan lintas generasi. Melalui Biennale Jogja 18, istilah ini diwujudkan sebagai ruang pertemuan beragam praktik artistik yang menyelami, menafsir, sekaligus menghidupkan pengetahuan lokal dalam konteks global.

Dua Babak Biennale Jogja 18

Biennale Jogja 18 akan berlangsung dalam dua babak:

  • Babak I: 19–24 September 2025 di Padukuhan Boro, Desa Karangsewu, Kulon Progo. Tahap ini menjadi titik awal perjumpaan antara seniman dan warga, membangun dialog antara praktik seni kontemporer dan pengetahuan lokal dari kehidupan sehari-hari.

  • Babak II: 5 Oktober – 20 November 2025 di tiga lokasi berbeda, yaitu Kota Yogyakarta, Desa Panggungharjo, dan Desa Bangunjiwo.

Pembukaan Babak I akan digelar di Pendopo Karang Kemuning Ekosistem (KKE), bertepatan dengan tradisi Merti Dusun, sebuah ritual syukur masyarakat Jawa.

Foto oleh : Biennale Jogja

Asana Bina Seni 2025: Prāṇaning Boro

Bagian penting dari Biennale Jogja 18 adalah Asana Bina Seni, program tahunan Yayasan Biennale Yogyakarta yang sejak 2019 menjadi ruang belajar dan inkubasi bagi seniman serta kurator muda. Tahun ini, Asana Bina Seni mengusung tema Prāṇaning Boro.

Kata prāṇaning berasal dari bahasa Kawi yang berarti “angin” atau “napas”, metafora tentang pertemuan yang sekilas, singkat, tetapi berulang, seperti hembusan angin pesisir yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari warga Boro.

Sejak Maret hingga Mei 2025, peserta Asana Bina Seni mengikuti kelas intensif mengenai estetika, ekologi, gender, sejarah, pengarsipan, pemetaan sosial, hingga potensi desa. Proses ini kemudian berlanjut dengan residensi di Padukuhan Boro II, Galur, Kulon Progo, di mana seniman muda tinggal, berinteraksi, dan berdialog dengan warga. Hasil perjumpaan ini diwujudkan dalam karya seni kontemporer yang merefleksikan isu ekologi, arsip, sejarah, hingga dinamika sosial, sekaligus menjadi ruang kolektif untuk mengenang, mengolah, dan menumbuhkan pengetahuan lintas generasi.

Seniman & Kurator Asana Bina Seni 2025

Program ini melibatkan 16 seniman dari Yogyakarta, Bandung, Bali, Madura, hingga Jepang, di antaranya: Anisyah Padmanila Sari, Darryl Haryanto, Egga Jaya, Vina Puspita, hingga Yuta Niwa.

Selain itu, ada 7 kurator/penulis muda seperti Arami Kasih, Ayu Maulani, dan Shabrina Z. S. Bachri yang turut mendampingi proses artistik dengan riset dan penulisan kritis.

Perjalanan Napas Seni: Dari Boro ke Panggungharjo

Setelah Babak I di Padukuhan Boro II, perjalanan Biennale Jogja 18 berlanjut ke Babak II pada 5 Oktober – 20 November 2025. Di fase ini, seniman seperti Fioretti Vera, Gata Mahardika, dan Laboratorium Sedusun akan menghadirkan karya di Panggungharjo, memperluas dialog seni dengan lapisan-lapisan pengetahuan baru.

Sebagaimana angin yang tak pernah berhenti bergerak, Prāṇaning Boro menjadi simbol perjalanan panjang Asana Bina Seni 2025—dari perjumpaan singkat di dusun, hingga mengakar ke berbagai ruang yang menyimpan pengalaman dan ingatan kolektif. Biennale Jogja 18 pun diharapkan menjadi arena bersama untuk menafsir ulang pengetahuan, menggali potensi lokal, dan menyulamnya dengan wacana global.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here